Kamis, 19 Juni 2014

Khitan Dalam Islam

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh

بسم الله الرحمن الرحيم
الْحَمْدُ لِلهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَبَعْدُ

Mengapa Anda mengiris/memotong bagian tubuh, katanya dilarang merubah ciptaan Allah yang telah diberikan kepada diri kita? ketika bayi lahir sehat tampaknya ada alasan medis untuk menghilangkan sesuatu yang diciptakan Allah, sesuatu yang secara alami ada. Sunat telah menjadi topik panas di profesionalisme medis dan iman karena kontroversi yang datang dari berbagai pendapat. Juga dikarenakan dengan adanya dalil ayat Al Qur an : 
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ اْلأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُوْنِ اللهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِيْنًا

“Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (An-Nisa`: 119)
Akan tetapi Allah juga memberi toleransi/ ada dimana ketika dalam keadaan dhorurot (darurat), kita diperbolehkan memotong sebagian dari anggota tubuh kita setelah mengalami kecelakan misalnya, dan sejenisnya. Namun dalam khitan berbeda lagi penerapannya dalam syariat Islam berkenaan tentang hukum dalam pelaksanaannya.

Hukum Khitan
Dalam fikih Islam, hukum khitan dibedakan antara untuk lelaki dan perempuan. Perbedaan pendapat 'ulama mengenai hukum khitan baik untuk lelaki maupun perempuan.

Hukum khitan untuk lelaki:
Menurut jumhur 'ulama (mayoritas ulama), hukum khitan bagi lelaki adalah wajib. Para pendukung pendapat ini adalah Imam Syafi'i, Ahmad, dan sebagian pengikut Iimam Malik. Sedangkan Imam Hanafi mengatakan khitan wajib tetapi tidak fardlu.
Menurut riwayat yang masyhur dari Imam Malik beliau mengatakan khitan hukumnya sunnah. Begitu juga riwayat dari Imam Hanafi dan Hasan al-Basri mengatakan sunnah. Namun bagi Imam Malik, sunnah kalau ditinggalkan berdosa, karena menurut madzhab Maliki sunnah adalah antara fadlu dan nadb. Ibnu abi Musa dari ulama Hanbali juga mengatakan sunnah muakkadah.
Dalil yang Yang dijadikan landasan bahwa khitan tidak wajib.
1. Salman al-Farisi ketika masuk Islam tidak disuruh khitan;
2. Hadist di atas menyebutkan khitan dalan rentetan amalan sunnah seperti mencukur buku ketiak dan memndekkan kuku, maka secara logis khitan juga sunnah.
3. Hadist Ayaddad bib Aus, Rasulullah s.a.w bersabda:"Khitan itu sunnah bagi lelaki dan diutamakan bagi perempuan. Namun kata sunnah dalam hadist sering diungkapkan untuk tradisi dan kebiasaan Rasulullah baik yang wajib maupun bukan dan khitan di sini termasuk yang wajib.
Adapun dalil-dalil yang dijadikan landasan para ulama yang mengatakan khitab wajib adalah sbb.:
1. Dari Abu Hurairah Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa nabi Ibrahim melaksanakan khitan ketika berumur 80 tahun, beliau khitan dengan menggunakan kapak. (H.R. Bukhari). Nabi Ibrahim melaksanakannya ketika diperintahkan untuk khitan padahal beliau sudah berumur 80 tahun. Ini menunjukkan betapa kuatnya perintah khitan.
2. Kulit yang di depan alat kelamin terkena najis ketika kencing, kalau tidak dikhitan maka sama dengan orang yang menyentuh najis di badannya sehingga sholatnya tidak sah. Sholat adalah ibadah wajib, segala sesuatu yang menjadi prasyarat sholat hukumnya wajib.
3. Hadist riwayat Abu Dawud dan Ahmad, Rasulullah s.a.w. berkata kepada Kulaib: "Buanglah rambut kekafiran dan berkhitanlah". Perintah Rasulullah s.a.w. menunjukkan kewajiban.
4. Diperbolehkan membuka aurat pada saat khitan, padahal membuka aurat sesuatu yang dilarang. Ini menujukkan bahwa khitab wajib, karena tidak diperbolehkan sesuatu yang dilarang kecuali untuk sesuatu yang sangat kuat hukumnya.
5. Memotong anggota tubuh yang tidak bisa tumbuh kembali dan disertai rasa sakit tidak mungkin kecuali karena perkara wajib, seperti hukum potong tangan bagi pencuri.
6. Khitan merupakan tradisi mat Islam sejak zaman Rasulullah s.a.w. sampai zaman sekarang dan tidak ada yang meninggalkannya, maka tidak ada alasan yang mengatakan itu tidak wajib.

Khitan untuk perempuan
Hukum khitan bagi perempuan telah menjadi perbincangan para ulama. Sebagian mengatakan itu sunnah dan sebagian mengatakan itu suatu keutamaan saja dan tidak ada yang mengatakan wajib.
Perbedaan pendapat para ulama seputar hukum khitan bagi perempuan tersebut disebabkan riwayat hadist seputar khitan perempuan yang masih dipermasalahkan kekuatannya.
Tidak ada hadist sahih yang menjelaskan hukum khitan perempuan. Ibnu Mundzir mengatakan bahwa tidak ada hadist yang bisa dijadikan rujukan dalam masalah khitan perempuan dan tidak ada sunnah yang bisa dijadikan landasan. Semua hadist yang meriwayatkan khitan perempuan mempunyai sanad dlaif atau lemah.
 

Dari Abu Hurairah -Semoga Allah meridhainya- Rasulullah bersabda:
 (( الفطرة خمس -أو خمسة من الفطرة: الختان، والاستحداد، وتنف الإبط، وتقليم [الأظفار، وقص الشارب )) الخباري في صحيح، 5889 
Artinya: Fithrah manusia itu ada lima, yaitu khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan mencukur kumis (HR. Bukhari, 5889)

Dengan kita menelaah dari dalil dan hukum-hukum di atas, dapat kita menetapkan bahwasanya khitan/ sunat adalah wajib hukumnya bagi kita yang mengaku ummat Islam dan ummat Muhammad Sollallohu 'alaihi wa Sallam. Selain baik dalam dunia medis kita tentunya menjalankan contoh dari Nabi Ibrohim 'Alaihiss Salam 
dan menjalankan syariat dengan baik dalam hal menjaga kesucian dari najis yang tertinggal pada kemaluan saat belum di khitan.

Alangkah detilnya Islam dalam memperhatikan ummat dan kemaslahatannya, sampai hal-hal yang terkecil semacam najis yang tertinggal juga diperhatikan. Jadi ayo usahakan anak-anak, adik-adik, keponakan-keponakan, dan saudara-saudara kita berkhitan segera, tidak usah menunggu nanti ketika hendak balligh, apalagiiiii hendak menikah hehehe.... . Namun bagi saudaraku para muallaf yang belum khitan, hendaknya segeralah berkhitan agar sempurna dalam menjalankan ibadah nantinya.

Kehidupan Seks
Dapatkah sunat mempengaruhi kehidupan seksual Anda? Meskipun ada sedikit bukti konklusif, itu tidak memberikan keuntungan kesehatan yang penting dan memiliki potensi untuk meningkatkan kenikmatan fisik. Dari sebuah penelitian di Inggris dari 150 laki-laki yang disunat sebagai orang dewasa, 38% melaporkan sensasi penis ditingkatkan dengan kepuasan secara keseluruhan 62% dalam kehidupan intim mereka.

Jadi, tidak sembarangan bukan syariat tentang khitan!, baik dari segi medis, kehidupan sexs, dan kesucian dari najis juga didapat, nah kerana itu saya sebut bahwa islam sangat memperhatikan kehidupan ummatnya hingga hal yang terkecil sekalipun Subhanalloh.... . Kiranya sekian yang dapat abdulloh ini samapikan, mudah mudahan dapat membawa manfaat bagi yang membaca, terlebih bagi saya. Salah dan khilaf semata dari saya pribadi mohon dimaafkan, dan benar adalah pertolongan Alloh kepada saya. Ihdinas shirothol mustaqim, ilalliqo' ma'assalam.

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh 



Selasa, 04 Maret 2014

Kredit, Apakah Haram ?

بسم الله الرحمن الرحيم
 
Assalamu'alaikum wr.wb
 
يأتي على الناس زمان، لا يبالي المرء ما أخذ منه، أمن الحلال أم من الحرام
 
“Akan datang pada manusia suatu zaman yang seseorang tidak peduli tentang apa-apa yang dia ambil, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Al-Bukhory: 2053)
 
 
 
 
 
 
Riba merupakan perkara yang termasuk salah satu diantara banyak yang diharamkan oleh Allah swt. Dan dalam jual beli sangat condong dengan terjadinya riba, yang sering kali ada perselisihan didalamnya ialah “Jual beli secara kredit”. 
 
Pada kali ini kita ungkap terlebih dahulu tentang jenis-jenis riba yang mayoritas ulama' menyatakan bahwa riba bisa terjadi dalam dua hal, yaitu dalam utang  (dain) dan dalam transaksi jual-beli (bai’). Keduanya biasa disebut dengan istilah riba utang (riba duyun)dan riba jual-beli (riba buyu’). 
 
Jual beli kredit dalam bahasa arab disebut “Bai’ut Taqsith” yang pengertiannya adalah: Suatu bentuk kesepakatan jual beli berupa penerimaan barang secara langsung oleh pembeli tapi dengan pembayaran yang diakhirkan dan dibayarkan dengan mencicil dalam tenggang waktu yang telah ditentukan dan jumlah yang ditentukan pula. Dan termasuk pula dalam utang-piutang yang memberikan bunga saat menjalin kesepakatan antara peminjam dan yang menghutangi.

Dan ulama' memberi jawaban dengan dua pendapat:
Pertama: Bolehnya bentuk jual beli di atas karena hukum asal jual beli adalah boleh selama tidak ada di dalamnya unsur riba dan tidak ada dalil yang menunjukkkan keharamannya. Alloh berfirman:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
 
“Dan Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqoroh :275)
Alloh juga berfirman:
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
 
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan jual-beli yang dilakukan dengan saling ridho di antara kalian.” (An-Nisa: 29)

Ayat ini menunjukkan bahwa jika terjadi jual beli dalam keadaan si penjual dan pembeli saling sepakat dan ridho dengan proses jual beli yang disepakati itu, maka jual beli seperti itu boleh, selama tidak ada dalil yang menunjukkan terlarangnya, dan dalil yang melarang ini pada permasalan jual beli kredit tidaklah ada.
Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama, seperti: Imam Malik, Ahmad, Syafi’iy, Abu Hanifah, Ast-Tsaury, Al-Auza’y, dan Tirmidzy serta  Ulama yang lainnya.
 
Pendapat kedua adalah pendapat yang menyatakan bahwa jual beli kredit itu hukumnya haram. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil –Rohmahumalloh- berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh –Rodhiyallohu ‘anhu- bahwasanya beliau berkata:

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيعتين في بيعة
 
“Rosululloh telah melarang dari “Bai’atain fi bai’ah” (dua proses jual beli yang dilakukan dalam satu jual beli)”.

Dengan kata lain jual beli yang terdapat dua harga dalam satu majelis merupakan riba "jual beli yang riba", dan tentu saja menjadi haram hukum dari jual beli tersebut. Jadi kita musti berhati-hati dengan hal tersebut saat mengadakan transaksi jual-beli, atau kita menjalankan profesi sebagai pedagang dan semisalnya. mungkin kiranya cukup sekian apa yang saya dapat sampaikan, semoga dapat bermanfaat bagi anda terlebih bagi saya. Ihdinash shiratal mustaqim, astaghfifullaha min qoulin bila 'amalin, tsummas salam.

Wassalamu'alaikum wr.wb  

Jumat, 01 November 2013

"ROHNUN" HUKUM PERGADAIAN DALAM FIQIH ISLAM

حكم الرهن في الفقه الإسلامي

Assalamu'alaikum wr.wb

Kali ini pembahasan berkenaan tentang pergadaian (Ar-Rahn) dalam fiqih Islam. Yang mana juga sangat penting untuk diketahui oleh orang yang telah berumah tangga, karena seringkali ijumpai permasalahan pergadaian dalam rumah tangga, mari kita simak pembahasan berikut ini.

A. Defenisi Ar-Rahn (Gadai):


Ar-Rahn (gadai) secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng), dan bisa juga berarti al-ihtibas wa al-luzum (tertahan dan keharusan).

Sedangkan secara syar‘i, ar-rahn (gadai) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) melunasinya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Gadai ialah harta benda yang dijadikan sebagai jaminan (agunan) utang agar dapat dilunasi (semuanya), atau sebagiannya dengan harganya atau dengan sebagian dari nilai barang gadainya itu”.

Sebagai contoh, bila ada seseorang memiliki hutang kepada anda sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah). Lalu dia memberikan suatu barang yang nilainya sekitar Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) sebagai jaminan hutangnya. Maka di dalam gambaran ini, hutangnya kelak dapat dilunasi dengan sebagian nilai barang yang digadaikannya itu bila dijual.

Contoh lain, bila ada seseorang yang berhutang kepada anda sebesar RP.5.000.000,- (lima juta rupiah). Lalu dia memberikan kepada anda sebuah barang yang nilainya sebesar Rp.500.000,- (Lima ratus ribu rupiah) sebagai jaminan hutangnya. Di dalam gambaran kedua ini, sebagian hutang dapat dilunasi dengan nilai barang tersebut. Akan tetapi orang yang berhutang masih menanggung hutang dari sisa yang masih belum dibayarnya.

Nah!, dalam dua gambaran di atas, baik nilai barang gadaiannya itu lebih besar ataupun lebih kecil dari jumlah hutang, hukumnya tetap sama, diperbolehkan.



B. Landasan Disyariatkannya Gadai:


Gadai diperbolehkan dalam agama Islam baik dalam keadaan safar maupun mukim. Hal ini berdasarkan dalil Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’ (konsensus) para ulama. Di antaranya:

a. Al-Qur’an:

:Firman Allah

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283)

menyebutkan “barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berhutang)”. Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa dikenal sebagai jaminan atau obyek pegadaian.

b. Al-Hadits:

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِىٍّ إِلَى أَجَلٍ ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ

Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi.” (HR Bukhari II/729 (no.1962) dalam kitab Al-Buyu’, dan Muslim III/1226 (no. 1603) dalam kitab Al-Musaqat).


عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قال : لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِىٍّ ، وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لأَهْلِهِ

Anas Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menggadaikan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau.” (HR. Bukhari II/729 (no. 1963) dalam kitab Al-Buyu’).



c. Ijma’(kesepakatan)para ulama:


Para ulama telah bersepakat akan diperbolehkannya gadai (ar-rahn), meskipun sebagian mereka bersilang pendapat bila gadai itu dilakukan dalam keadaan mukim. Akan tetapi, pendapat yang lebih rajih (kuat) ialah bolehnya melakukan gadai dalam dua keadaan tersebut. Sebab riwayat Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhuma di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan muamalah gadai di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi safar, tetapi sedang mukim.



C. Unsur dan Rukun Gadai (Ar-Rahn):


Dalam prakteknya, gadai secara syariah ini memiliki empat unsur, yaitu:

1. Ar-Rahin, Yaitu orang yang menggadaikan barang atau meminjam uang dengan jaminan barang.

2. Al-Murtahin, Yaitu orang yang menerima barang yang digadaikan atau yang meminjamkan uangnya.

3. Al-Marhun/ Ar-Rahn, Yaitu barang yang digadaikan atau dipinjamkan.

4. Al-Marhun bihi, Yaitu uang dipinjamkan lantaran ada barang yang digadaikan.


Sedangkan rukun gadai (Ar-Rahn) ada tiga, yaitu:

• Shighat (ijab dan qabul).

• Al-‘aqidan (dua orang yang melakukan akad ar-rahn), yaitu pihak yang menggadaikan (ar-râhin) dan yang menerima gadai/agunan (al-murtahin)

• Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), yaitu barang yang digadaikan/diagunkan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Selain ketiga ketentuan dasar tersebut, ada ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada qabdh (serah terima).

Jika semua ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan ketentuan syariah, dan dilakukan oleh orang yang layak melakukan tasharruf (tindakan), maka akad gadai (ar-rahn) tersebut sah.


Syarat gadai (ar-rahn):

Disyaratkan dalam muamalah gadai hal-hal berikut:

Pertama: Syarat yang berhubungan dengan orang yang bertransaksi yaitu Orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur).

Kedua: Syarat yang berhubungan dengan Al-Marhun (barang gadai) ada dua:

1. Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya, baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya.

2. Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.

3. Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya, karena Al-rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.

Ketiga: Syarat berhubungan dengan Al-Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.


D. Kapan Serah Terima Ar-Rahn (Barang Gadai) Dianggap Sah?

Barang gadaian adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan seperti bangunan/rumah dan tanah, Maka disepakati serah terimanya dengan mengosongkan isi bangunan/rumah tersebut untuk pemberi hutang tanpa ada penghalangnya.

Dan ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati serah terimanya dengan ditakar pada takaran, bila barang timbangan maka disepakati serah terimanya dengan ditimbang pada takaran. Bila barang timbangan, maka serah terimanya dengan ditimbang dan dihitung, bila barangnya dapat dihitung. Serta dilakukan pengukuran, bila barangnya berupa barang yang diukur.

Namun bila barang gadai tersebut berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan, dalam hal ini ada perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya. Ada yang berpendapat dengan cara memindahkannya dari tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak yang menggadaikannya, sedangkan murtahin dapat mengambilnya.

Ketentuan Umum Dalam Muamalah Gadai:

Ketentuan umum dalam muamalah gadai setelah terjadinya serah terima barang gadai. Di antaranya:

1. Barang yang Dapat Digadaikan.

Barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai jual, agar dapat menjadi jaminan bagi Ar-Rahin. Dengan demikian, barang yang tidak dapat diperjual-belikan dikarenakan tidak ada harganya, atau haram untuk diperjual-belikan, adalah tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Yang demikian itu dikarenakan, tujuan utama disyariatkannya pergadaian, sehingga pergadaian tidak dapat dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjual-belikan.

Barang yang digadaikan dapat berupa tanah, sawah, rumah, perhiasan, kendaraan, alat-alat elektronik, surat saham, dan lain-lain. Sehingga dengan demikian, bila ada orang yang menggadaikan seekor anjing, babi, dan yang dilahirkan dari keduanya (karena hasil persilangan), maka pegadaian ini tidak sah hukumnya, karena kesemuanya tidak halal untuk diperjual-belikan.

عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ – رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ

Dari Abu Mas’ud Al-Anshari Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, penghasilan (mahar) pelacur, dan upah perdukunan.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Imam Asy-Syafi’i berkata: “Seseorang tidak dibenarkan untuk menggadaikan sesuatu, yang pada saat akad gadai berlangsung, (barang yang hendak digadaikan tersebut) tidak halal untuk diperjual-belikan.”

2. Barang Gadai Adalah Amanah.

Barang gadai bukanlah sesuatu yang harus ada dalam hutang piutang, dia hanya diadakan dengan kesepakatan kedua belah pihak, misalnya jika pemilik uang khawatir uangnya tidak atau sulit untuk dikembalikan. Jadi, barang gadai itu hanya sebagai penegas dan penjamin bahwa peminjam akan mengembalikan uang yang akan dia pinjam. Karenanya jika dia telah membayar utangnya maka barang tersebut kembali ke tangannya.

Status barang gadai selama berada di tangan pemberi utang adalah sebagai amanah yang harus ia jaga sebaik-baiknya. Sebagai salah satu konsekuensi amanah adalah, bila terjadi kerusakan yang tidak disengaja dan tanpa ada kesalahan prosedur dalam perawatan, maka pemilik uang tidak berkewajiban untuk mengganti kerugian. Bahkan, seandainya orang yang menggadaikan barang itu mensyaratkan agar pemberi utang memberi ganti rugi bila terjadi kerusakan walau tanpa disengaja, maka persyaratan ini tidak sah dan tidak wajib dipenuhi.

3. Barang Gadai Dipegang Pemberi utang.

Barang gadai tersebut berada di tangan pemberi utang selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283).

Dan sabda Nabi:

الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ

“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan. Dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya.” (Hadits Shahih riwayat Bukhari (no.2512), dan At-Tirmidzi (no.1245), dan ini lafazhnya).

4. Memanfaatkan Barang Gadai.

Pihak pemberi hutang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian. Sebab, sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun pemberi hutang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang.

Dengan demikian, pemberi hutang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian, baik dengan izin pemilik barang atau tanpa seizin darinya. Bila ia memanfaatkan tanpa izin, maka itu nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan dengan izin pemilik barang, maka itu adalah riba. Karena setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba. Demikianlah hukum asal pegadaian.

Namun ada kalanya keadaan tertentu yang membolehkan pemberi hutang memanfaatkan barang gadaian, yaitu bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diperah air susunya, maka boleh menggunakan dan memerah air susunya apabila ia memberikan nafkah untuk pemeliharaan barang gadaian tersebut. Pemanfaatan barang gadai tersebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda: “Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no.3962, Fathul Bari V/143 no. 2512, ‘Aunul Ma’bud IX/439 no.3509, Tirmidzi II/362 no.1272 dan Ibnu Majah II/816 no.2440).

Syaikh Abdullah Al-Bassam menjelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas oleh yang menerima gadai.

5. Biaya Perawatan Barang Gadai.

Jika barang gadai butuh biaya perawatan -misalnya hewan perahan, hewan tunggangan, dan budak (sebagaimana dalam as-sunnah) maka:

- Jika dibiayai oleh penggadai/pemiliknya sendiri, maka pemilik uang tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.

- Jika dibiayai oleh pemilik uang, maka dia boleh menggunakan barang tersebut sesuai dengan biaya yang telah dia keluarkan, tidak boleh lebih.

Maksud barang gadai yang butuh pembiayaan, yakni jika dia tidak dirawat maka dia akan rusak atau mati. Misalnya hewan atau budak yang digadaikan, tentunya keduanya butuh makan. Jika keduanya diberi makan oleh pemilik uang(Al-Murtahin), maka dia bisa memanfaatkan budak dan hewan tersebut sesuai dengan besarnya biaya yang dia keluarkan. Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang telah lalu dalam masalah pemanfaatan barang gadai.

6. Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai.

Apabila pelunasan hutang sudah jatuh tempo, maka Ar-Rahin berkewajiban melunasi hutangnya sesuai denga waktu yang telah disepakatinya dengan Al-Murtahin. Bila telah lunas maka barang gadaian dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, bila Ar-Rahin tidak mampu melunasi hutangnya, maka Al-Murtahin berhak menjual barang gadaian itu untuk menggantikan pelunasan atas hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisa dari barang yang dijual, maka sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut (Ar-Rahin). Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikan barangnya tersebut masih menanggung atas sisa hutangnya.

Demikian atas penjelasan singkat seputar hukum mu'amalah gadai dalam fiqih Islam. Dari penjelasan di atas, Nampak jelas bagi kita atas kesempurnaan, keindahan dan keadilan Islam dalam mengatur segala aspek kehidupan manusia. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.kurang lebihnya mohon maaf. Ihdinash shiratal mustqim

Wassalamu'alaikum wr.wb